Penangkapan terhadap 23 nelayan tradisional di Kabupaten Langkat oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat salah sasaran.
Awalnya 23, menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Kemakmuran Perikanan (KIARA) Abdul Halim, nelayan tradisional tersebut bersama 1.000 orang nelayan tradisional asal Perlis, Serapuh, Jaring Halus, Kuala Gebang serta seluruh pesisir Kabupaten Langkat, Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara berinisiatif mengusir kapal penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap pukat harimau tarik ganda (double pair trawl).
Penggunaan alat tangkap pukat trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia dan secara khusus di wilayah perairan Sumatera Utara (WPP NRI 571).
Berdasarkan Pasal 9, Pasal 85 Undang - Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa "Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa atau menggunakan alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia."
Jauh sebelum itu, lanjut Abdul Halim di Jakarta (Kamis (24/1), Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl juga masih berlaku.
Bahkan konflik trawl di Sumatera Utara yang melatari dikeluarkannya Keppres tersebut.
Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI wilayah Sumatera mengatakan, "Bentrok antara nelayan tradisional dengan buruh pukat harimau tarik ganda (double pair trawl) telah menghancurkan 2 (dua) unit perahu nelayan tradisional yang berinisiatif mengusir pemakai alat tangkap yang jelas - jelas dilarang."
"Pertanyaan kami, kenapa nelayan yang melestarikan ekosistem pesisir dan laut tersebut justru ditahan? Mestinya pemilik dan pengguna yang ditindak-tegas, diikuti dengan pemusnahan alat tangkap trawl," tanyanya. Abdul Halim kembali menyatakan bahwa, "Alat tangkap jaring trawl dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Dalam konteks pengamanan laut dari praktik kerusakan, maka kriminalisasi terhadap nelayan tradisional harus dihentikan. Karena merekalah yang seharusnya memperoleh penghargaan. Bukan sebaliknya."
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/24/142841/Hentikan-Kriminalisasi-Nelayan-Tradisional
Awalnya 23, menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Kemakmuran Perikanan (KIARA) Abdul Halim, nelayan tradisional tersebut bersama 1.000 orang nelayan tradisional asal Perlis, Serapuh, Jaring Halus, Kuala Gebang serta seluruh pesisir Kabupaten Langkat, Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara berinisiatif mengusir kapal penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap pukat harimau tarik ganda (double pair trawl).
Penggunaan alat tangkap pukat trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia dan secara khusus di wilayah perairan Sumatera Utara (WPP NRI 571).
Berdasarkan Pasal 9, Pasal 85 Undang - Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa "Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa atau menggunakan alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia."
Jauh sebelum itu, lanjut Abdul Halim di Jakarta (Kamis (24/1), Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl juga masih berlaku.
Bahkan konflik trawl di Sumatera Utara yang melatari dikeluarkannya Keppres tersebut.
Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI wilayah Sumatera mengatakan, "Bentrok antara nelayan tradisional dengan buruh pukat harimau tarik ganda (double pair trawl) telah menghancurkan 2 (dua) unit perahu nelayan tradisional yang berinisiatif mengusir pemakai alat tangkap yang jelas - jelas dilarang."
"Pertanyaan kami, kenapa nelayan yang melestarikan ekosistem pesisir dan laut tersebut justru ditahan? Mestinya pemilik dan pengguna yang ditindak-tegas, diikuti dengan pemusnahan alat tangkap trawl," tanyanya. Abdul Halim kembali menyatakan bahwa, "Alat tangkap jaring trawl dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Dalam konteks pengamanan laut dari praktik kerusakan, maka kriminalisasi terhadap nelayan tradisional harus dihentikan. Karena merekalah yang seharusnya memperoleh penghargaan. Bukan sebaliknya."
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/01/24/142841/Hentikan-Kriminalisasi-Nelayan-Tradisional
Nice info broe...
BalasHapus