Jumat, 13 September 2013

Musim Ombak, Picu Kenaikan Harga Ikan

BELAWAN- Musim ombak dan cuaca buruk belakangan ini di perairan Selat Malaka dan Sibolga mengakibatkan kalangan nelayan banyak yang takut melaut, akibatnya pasaran harga ikan menjadi terdongkrak bahkan di sejumlah pasar jenis ikan laut menjadi langka, kalau pun ada harganya capai Rp 30 ribuan/Kgnya.

Meski begitu, tetap saja kenaikan harga ikan dipasaran dinilai wajar bagi kalangan pedagang, khususnya jenis ikan laut diantaranya ikan gembung, ikan pari, udang, cumi-cumi, ikan tongkol yang harganya      paling melonjak. Dari pengecekkan di sejumlah pasar tradisional dan tangkahan pendaratan ikan di Belawan, Jumat (13/09/2013) ternyata harga sejumlah ikan laut meningkat 20 persen seperti ikan selayang/dencis kini mencapai harga Rp 25 ribu / kilogram hingga Rp28 ribu, padahal sebelumnya hanya Rp 20 ribu/Kg. Begitu juga dengan ikan tongkol yang kini menembus harga Rp 30 ribu / kilogram, gembung capai Rp35 ribu/Kg.

Menurut sejumlah pedagang ikan, kenaikan harga tersebut terjadi karena saat ini perairan Selat Malaka dilanda musim ombak besar sehingga banyak nelayan enggan melaut sedangkan permintaan ikan tetap meningkat.

Kenaikan harga ikan laut ini turut disesalkan para pembeli, saat ini mau beralih ke tempe dan tahu sudah mulai naik apalagi ikan saat ini harganya melejit, kalau pun beli ikan hanya mampu beli setengah kilogram saja, ungkapnya usai berbelanja di pasar tradisional Marelan.

Senin, 22 Juli 2013

Empat Kapal Illegal Fishing Thailand di Tangkap KP. Hiu 008



Empat Kapal Illegal Fishing Thailand di Tangkap KP. Hiu 008
 
     Perairan Selat malaka merupakan sorga bagi kapal-kapal illegal fishing dari negera tetangga khususnya kapal Malaysia dan Thailand untuk mencuri ikan diperairan kita, mereka menggunakan alat tangkap terlarang (trawl) menjarah sumberdaya ikan kita.  Buktinnya Kapal Pengawas Perikanan milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan KP. Hiu 008 yang di nahkodai Hendra Wollah  menangkap 4 (empat) kapal illegal fishing asing berkebangsaan Thailand  ditangkap diperairan ZEEI Selat Malaka  dalam operasi rutin pada tanggal  17 Juli 2013 sekitar pukul 14.10-17.20 WIB.  Keempat kapal yang ditangkap, yaitu KM. KASIASIN I (80 GT), KM. KASIASIN 2 (80 GT), KM. CHAYANON 1 (80 GT), dan KM. CHAYANON 2 (80 GT), dengan jumlah Anak Buah Kapal (ABK) sebanyak 36 orang, terdiri dari 8 orang berkebangsaan Thailand dan 28 orang berkebangsaan Myanmar. Keempat kapal tersebut melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang pairtrawl, dan kapal-kapal tersebut tidak memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) yang dikeluarkan PemerintahRepublik Indonesia. 
 
 
     Menurut Nahkoda KP. Hiu 008 Kronologis penangkapan ketika KP. Hiu 008 sedang melakukan patroli rutin di perairan Laut Selat Malaka  melihat 4 kapal yang yang sedang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan Pair Trawl.  Pertama dua kapal yang terdeteksi setelah didekati mereka melarikan diri dan satu persatu kapal tersebut ditangkap,  setelah itu satu pasang kapal yang sedang melakukan penangkapan dideteksi kembali dan dikejar satu melarikan diri ke arah perairan thailand dan satu lagi perairan Aceh, maka Nahkoda mengarahkan kapal untuk mengejar yang arah Thailand setelah ditangkap lalu mengejar lagi kapal yang kearah Aceh dan berhasil ditangkap. Lebih lanjut diperiksa ternyata kapal tersebut melakukan Penangkapan Ikan tanpa dokumen yang lengkap yang dikeluarkan pemerintah Republik Indonesia  yaitu Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan melanggar wilayah penangkapan serta  menggunakan alat tangkap terlarang pair trawl.
 
 
     Menurut Bapak Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan an Perikanan Bapak Syahrin Abdurrahman, SE didampingin oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi H. Zulkarnaen, SH, M.SI, Direktur Kapal Pengawas Ir. Budi Halomoan, M,SI, Kepala Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Mukhtar, A.Pi, M.Si melihat dari dekat kapal tersebut tgl 20 Juli 2013 jam 14,30 WIB di Dermaga Gudang Arang Belawan. 
 
 
 
     Penangkapan kapal perikanan asing (KIA)Thailand tersebut merupakan upaya serius Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk terus memberantas kegiatan illegal fishing, demi terjaganya kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan. Hal ini dilakukan dengan terus melaksanakan patrol pengawasan terutama di daerah-daerah yang rawan. “Illegal fishing telah menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi bangsa Indonesia, dan KKP selaku aparatur yang diberi kewenangan oleh undang-undang, akan selalu bertindak tegas dan serius dalam memberantas illegal fishing,”. 
 
 
     Selanjutnya, Syahrin mengungkapkan bahwa untuk proses selanjutnya, terhadap keempat kapal penangkap ikan berbendera Thailand tersebut, akan dilakukan penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan pada Stasiun PSDKP Belawan. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnyaPasal 69 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menyebutkan bahwa kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.

        Penangkapan KIA pencuri ikan merupakan kerja nyata Pemerintah untuk menjaga sumber daya laut dan ikan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka lautan Indonesia akan dipenuhi oleh kapal-kapal pencuri ikan dari Negara-negara tetangga, yang tentunya akan sangat berdampak terhadap keberlanjutan mata pencaharian nelayan Indonesia. 
 Sebagaimana hasil pengawasan yang dilakukanoleh KKP, padaTahun 2013 saja KKP telah berhasil menangkap 56 (lima puluh enam) kapal ikan yang melakukan illegal fishing. Dari sejumlah tersebut sekitar 65 % merupakan KIA yaitu 11 kapal Malaysia, 5 kapal Philipina, 17 kapal Vietnam, 4 kapal Thailand, sedangkan sisanya (19 kapal atau 35 %) berbendera Indonesia.

Seiring masih terjadinya kegiatan illegal fishing  di perairan Indonesia, maka dukungan dari berbagai pihak dalam peningkatan kegiatan pemberantasan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia menjadi sangat penting dan sangat diperlukan. “Mari jaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan kita, untuk kesejahteraan masyarakat”.
 
 
Kedatangan keempat kapal ini di Belawan sekitar jam 18.00 WIB tanggal 19 Juli 2013 dan diterima oleh Kepala Stasiun Pengawasan SDKP Belawan Mukhtar, A.Pi, M.Si didampingi oleh Bapak Suhartono, SH Penyidik Stasiun Pengawasan SDKP Belawan.  Menurut Kepala Stasiun Pengawasan SDKP  Belawan bahwa kapal keempat kapal berbendera Thailand  ini melanggar Pasal 26 jo pasal 92, pasal 27 ayat (2) jo pasal 93 ayat (2), Pasal 9 jo pasal 85, Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dan ditambah  dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Selasa, 07 Mei 2013

PPS Belawan Melaksanakan Evaluasi Penerapan SHTI 2013

Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan melaksanakan Evaluasi Sertifikat Hasil Tangkap Ikan (SHTI) yang dilaksanakan di Balai Pertemuan Nelayan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan pada tanggal 1 Mei 2013. Acara tersebut dibuka oleh Kepala Tata Usaha Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Bapak AA. Cholieq Syahid,  A.Pi. Peserta acara tersebut sekitar 25 orang dari Eksportir Perikanan, Unit Pengolahan Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Utara, Stasiun Karantina Ikan Belawan, Stasiun Pengawasan SDKP Belawan dan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan.
 

Latar Belakang Kegiatan ini karena dampak kegiatan Illegal Unreported unregulated (IUU) Fishing dirasakan semakin mempercepat kerusakan lingkungan dan penurunan stock sumberdaya ikan. Pada beberapa kasus IUU menyebabkan semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan serta kelangkaan beberapa jeis spesies sumberdaya ikan . Menyadari hal itu, para ahli perikanan dunia maupun negara – negara anggota FAO mencoba berbagai upaya startegis untuk mengatasi hal tersebut. Para pihak sepakat bahwa hanya dengan langkah bersama , pemberantasan dan pencegahan IUU Fishing memperoleh hasil yang optimal.

 
Serangkaian pertemuan digagas untuk menyusun format yang bisa disepakati oleh semua pihak dalam pemberantasan IUU Fishing. Akhir tahun 1990-an, forum Internasional mulai mendiskusikan isu-isu mengenai tindakan memerangi IUU Fishing, antara lain pertermuan Komite FAO mengadopsi International Plan Of Action to Prevent, Detter and Eliminate IUU Fishing ( IPO-IUU) 2001,FAO Model Scheme 0n Port State Measures to Combat IUU Fishingtahun 2005, FAO Expert Consultation Tahun 2007, FAO Technical Consultation to Draft A Legally Binding Instrument on Port State Measures To Prevent, Detter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing Tahun 2008, dan pertemuan lainnya.
 

Setelah melakukan serangkain pertemuan tersebut,salah satu upaya yang dilakukan adalah:Komisi Eropa menerbitkan Regulasi yang disebut dengan European Council (EC) Regulation No. 1005/2008 tanggal 29 September tahun 2008 tentang Estabilishing a common system to prevent, deter and eliminate illegal, Unreported and unregulation fishing, amending Regulation (EEC) No. 2847/93, (EC) No. 1936/2001 and (EC) No. 601/2004 and Repealing Regulation (EC) No. 1093/94 and (EC) 1447/19999 yang secara tegas melarang masuknya produk perikanan yang berasal dari produk IUU Fishing kedalam wilayah teritorial komunitas Eropa. Untuk itu, semua produk perikanan yang masuk pasar Uni Eropa dan berasal dari penangkapan ikan harus disertai dengan sertifikat hasil tangkapan ikan atau yang disebut Catch Certificate.

 
Pelaksanaan penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan ( Catch Certificate), selain untuk memerangi IUU Fising  juga untuk membantu kelancaran Eksport ke Uni Eropa.Di Sumatera Utara khusunya kota medan, memiliki Unit Pengolah Ikan  (UPI)   yang pangsa pasarnya/eksport banyak ke Uni Eropa. Oleh karena itu di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan  Penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan telah dilaksanakan sejak 1 Januari 2010. Dalam kurun waktu ± 4 Tahun setelah pelaksanaan SHTI  banyak hal-hal positif yang bisa kita dapat maupun masalah masalah yang terjadi, oleh karena itu dipandang perlu untuk melakukan evaluasi untuk memberikan penyegaran dan jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi dalam rangka penerbitan SHTI dimaksud.
 

Tujuan Kegiatan Evaluasi SHTI  ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kegiatan SHTI yang telah berjalan dari diberlakukannya SHTI 1Januari 2010 sampai sekarang, diharapkan dengan adanya kegiatan ini dapat meminimalisir atau mengurangi permasalahan dan kendala yang dihadapi selama pelaksanan SHTI. Untuk itu kami harapkan para peserta undangan dapat memberi masukan atau kritik terutama perusahaan/pengusaha yang telah menggunakkan/ tidak menggunakkan SHTI.
 

Sasaran Kegiatan Evaluasi SHTI  di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan Tahun 2013 adalah merifresh kegiatan SHTI yang telah dilakukan selama diberlakukan SHTI, selain itu memberikan Informasi- informasi terbaru kepada pelaku usaha atau perusahaan yang sudah dan belum menerbitkan SHTI, diharapkan dengan kegiatan evaluasi ini, dapat memberi pencerahan kepada para peserta undangan, sehingga terdukungnya upaya nasional dalam memberantas (menghindari,melawan dan memerangi) kegiatan IUU Fishing, dan mengoptimalkan kesadaran dan tingkat ketaatan dengan keselamatan operasional kapal perikanan.
 
 Menurut Bapak AA. Cholieq Syahid,  A.Pi. permasalahan penerapan SHTI di Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan adalah
• Berdasarkan data tersebut telah memperlihatkan kinerja tingkat operasional penerbitan SHTI yang cukup menggembirakan, akan tetapi juga masih ditemukan adanya beberapa kendala teknis maupun non teknis yang seringkali menjadi faktor penghambat, sehingga proses penerbitan SHTI belum mencapai sasaran optima, diantaranya :
• Masih rendahnya kesadaran Pemilik/Nahkoda kapal untuk mengisi Lembar Awal (LA) pada saat melakukan pebongkaran ikan hasil tangkapannya, dan hanya terbatas kepada pengusaha perikanan yang melakukan ekspor ke Uni Eropa. Hal ini berdampak pada keakurasian dan keterlusuran data produksi perikanan;
• Keterbatasan jumlah SDM dalam melaksanakan tugas monitoring dan pengawasan pembongkaran ikan hasil tangkapan nelayan, sehingga berdampak pada akurasi data yang dilaporkan;
• Sulitnya  kepengurusan izin penangkapan di daerah dimana memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
• Tidak ada peraturan/regulasi yang mengatur untuk para pengusaha armada penangkapan dalam rangka kewajiban membuat Lembar Awal ( LA ).

Menyingkapi permasalahan tersebut diatas dilakukan upaya pemecahan yaitu:
•      Menyikapi permasalahan operasional yang dirasakan oleh petugas SHTI dilapangan, yang seringkali menyebabkan keterlabatan dalam penerbitan SHTI, maka telah ditempuh langkah-langkah kebijakan berupa:
•      Berkoordinasi dengan petugas Syahbandar di Pelabuhan Perikanan untuk menghimbau kepada Pemilik/Nahkoda kapal agar selain mengisi data Log Book Perikanan (LBP) juga mengisi formulir Lembar Awal ( LA ) sehingga data produksi hasil tangkapan ikan yang didaratkan benar-benar akurat dan tertelusuri ( Traceability )
•      Mengajukan penambahan SDM dalam jumlah yang memadai serta memiliki kompetensi dibidang tugas penerbitan SHTI
•      Diharapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan Daerah serta Dinas Perhubungan membuat suatu MOU atau kerja sama untuk mempermudah para nelayan dalam pengurusan izin kapal.
•      Melakukan sosialisasi terhadap peraturan yang telah di terbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan kepada para pelaku usaha perikanan,
•      Dengan Terbitnya PERMEN No. 3/PERMEN-KP/2013 Tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan maka untuk mendapatkan SPB,  Kapal di atas 20GT harus melampirkan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan Jenis Lembar Awal (LA). Apabila tidak melampirkan sertifikat jenis Lembar Awal (LA), syahbandar tidak boleh menerbitkan SPB.
Sedangkan dari Kasubdit Kesyahbandaran  Direktorat Pelabuhan Perikanan Bapak Bagus Oktori Sutrisno, A.Pi, MM dan salah satu stafnnya Dalam Paparannya Mengatakan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil perikanan yang diekspor bukan dari kegiatan Illegal,  Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
Skema Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan terdiri dari :
1) SHTI-Lembar Awal: Surat keterangan yang memuat informasi hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan untuk tujuan pencatatan
2) SHTI-Lembar Turunan : surat keterangan yang memuat informasi sebagian atau seluruh hasil tangkapan ikan sesuai dengan lembar awal sebagai dokumen yang menyertai hasil perikanan yang dipasarkan ke Uni Eropa
3) SHTI-Lembar Turunan yang disederhanakan: surat keterangan yang memuat informasi seluruh atau sebagian hasil tangkapan ikan yang didaratkan dari kapal penangkap ikan < 20 GT sebagai dokumen yang menyertai hasil perikanan yang dipasarkan ke Uni Eropa
4) SHTI-Impor : surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil perikanan yang diekspor ke Uni Eropa menggunakan sebagian atau seluruh bahan baku ikannya berasal dari negara lain yang sudah menotifikasi Catch Certificate ke Uni Eropa
5) Surat Keterangan Pendaratan Ikan : surat dari otoritas pelabuhan yang menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PP bukan berasal dari kegiatan IUU Fishing.

Berdasarkan Permen KP No. 13/MEN/2012 pasal 10, menyebutkan bahwa persyaratan SHTI-LA adalah: Nakhoda, pemilik kapal, atau yang ditunjuk oleh pemilik kapal untuk mendapatkan SHTI-Lembar Awal, mengajukan permohonan kepada Otoritas Kompeten Lokal dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: draft SHTI-Lembar Awal; fotokopi Identitas Pemohon; fotokopi Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal; fotokopi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI); laporan hasil verifikasi pendaratan ikan; dan SKPI bagi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada pelabuhan perikanan atau pelabuhan umum yang tidak ditetapkan sebagai Otoritas Kompeten Lokal.

Otoritas Kompeten Lokal melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan kesesuaian persyaratan paling lama 2 (dua) hari sejak permohonan diterima secara lengkap, dengan memperhatikan: hasil pengawasan kapal penangkap ikan; dan daftar kapal pada RFMOs bagi kapal yang beroperasi di laut lepas

Permen KP Nomor 03/Permen-KP/2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan pada pasal 9 (ayat 4): Syahbandar di Pelabuhan Perikanan setelah menerima pemberitahuan rencana keberangkatan melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen kapal perikanan yang meliputi; Bukti jasa kepelabuhanan; Bukti pembayaran retribusi lelang ikan; Bukti pembayaran Kebersihan Kapal; Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan Kapal dan  Lembar awal Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan bagi kapal perikanan berukuran di atas 20 GT.
Berdasarkan Permen KP No. 13/MEN/2012 pasal 14, menyebutkan bahwa persyaratan SHTI-LT adalah: Penanggung jawab UPI, eksportir atau yang ditunjuk untuk mendapatkan SHTI-Lembar Turunan, mengajukan permohonan kepada Otoritas Kompeten Lokal dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: fotokopi SHTI-Lembar Awal;  draft SHTI-Lembar Turunan. fotokopi Identitas Pemohon;  bukti pembelian ikan; packing list invoice dari perusahaan; dan surat jalan pengiriman barang dari perusahaan.

Pasal 15, menyebutkan bahwa persyaratan SHTI-LTS adalah: Penanggung jawab UPI, eksportir atau yang ditunjuk untuk mendapatkan SHTI-Lembar Turunan Yang Disederhanakan, mengajukan permohonan kepada Otoritas Kompeten Lokal dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: draft SHTI-Lembar Turunan Yang Disederhanakan; fotokopi Identitas Pemohon; bukti pembelian ikan; packing list invoice dari perusahaan; surat jalan pengiriman barang dari perusahaan; laporan hasil verifikasi pendaratan ikan; dan SKPI bagi kapal penangkap ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapan pada pelabuhan perikanan atau pelabuhan umum yang tidak ditetapkan sebagai Otoritas Kompeten Lokal.

Surat Keterangan Pendaratan Ikan dari Otoritas Pelabuhan yang menyatakan bahwa kapal perikanan yang terkait dg ikan yang akan di ekspor ke UE, syaratnya  : fotokopi identitas Nakhoda, pemilik kapal, atau yang ditunjuk oleh pemilik kapal; SIPI/surat pendaftaran kapal bagi kapal yang dioperasikan oleh nelayan kecil; Log book penangkapan ikan; dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB). SKPI a.l. memuat informasi  jenis dan jumlah dan berat ikan yang didaratkan, SKPI di tandatangani oleh Kepala Pelabuhan Perikanan setempat


Menurut Mukhtar, A.Pi, M.Si Kepala Stasiun Pengawasan SDKP Belawan pada paparannya mengatakan Verifikasi Pendaratan Ikan dilakukan pada setiap kapal penangkap ikan yang mengajukan permintaan untuk dilaksanakan verifikasi pendaratan ikan. Verifikasi pendaratan ikan dilakukan oleh Pengawas Perikanan yang ditugaskan  oleh Kepala UPT/Satker/Pos Pengawasan SDKP yang membawahinya. Hal-hal yang diverifikasi meliputi:  Nama kapal,  Nomor dan masa berlaku SIPI,  Jenis alat penangkapan ikan,  Tanggal dan daerah penangkapan,  Pelabuhan pangkalan dan  Jenis dan berat ikan

Tata Cara Verifikasi Pendaratan Ikan sebagai berikut
1. Petugas pendataan melakukan koordinasi dengan pihak pelabuhan untuk memeriksa dokumen, mencatat data kapal, alat tangkap yang digunakan, jenis dan jumlah ikan yang didaratkan di pelabuhan
2. Petugas pendataan menuangkan hasil pemeriksaan kapal perikanan dalam form Hasil Pemeriksaan Kapal (HPK)
3. Dalam hal terdapat permintaan verifikasi pendaratan ikan dari nakhoda/pemilik kapal/yang ditunjuk oleh pemilik kapal sebagai syarat pengajuan permohonan penerbitan SHTI, petugas pendataan menuangkan HPK kedatangan ke dalam form Laporan Hasil Verifikasi Pendaratan Ikan
4. Petugas verifikasi menyerahkan form laporan hasil verifikasi pendaratan ikan kepada petugas verifikasi.
.   Petugas verifikasi melakukan analisa terhadap :
q  Kesesuaian daerah penangkapan dengan izin yang diberikan berdasarkan data hasil pemantauan kapal perikanan Vessel Monitoring System (VMS) yang sudah on line dan/atau jurnal pelayaran kapal;
q  Kesesuaian ikan hasil tangkapan dengan jenis alat penangkapan ikan.
5. Dalam hal tidak ada jurnal pelayaran atau VMS on line belum terpasang, pemohon harus membuat pernyataan diatas materai, apabila pernyataan tsb dikemudian hari ternyata tidak benar, maka semua konsekuensi ditanggung oleh pemohon.
6. Petugas Verifikasi menanda-tangani  Laporan  Verifikasi Hasil Pendaratan Ikan dengan menuangkan hasil analisa dalam kolom catatan.

Berdasarkan Permen 3/PERMEN-KP/2013, pada Pasal 17 : Dalam rangka memastikan penelusuran hasil perikanan yang akan di ekspor ke Uni Eropa, Otoritas Kompeten Lokal dapat melakukan pengecekan asal bahan baku hasil perikanan pada UPI terkait. Pengecekan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan Pengawas Perikanan dan petugas yang menangani pengolahan dan pemasaran ikan.

Sumber: MUKHTAR,  A.Pi. M.Si Kepala Stasiun PSDKP Belawan

Rabu, 10 April 2013

141 Pendamping Penyuluh Teken Kontrak Kerja Penyuluhan

Medan- Sebanyak 141 orang pendamping penyuluh menandatangani kontrak kerja penyuluhan dalam rangka membantu Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Bakoorluh P2K) Sumatera Utara (Sumut) menambah tenaga penyuluh di Sumut. Ke-141 pendamping penyuluh dari 20 kabupaten/kota di Sumut yang disediakan PT Dwi Jaya Perkasa Sejahtera itu, akan membantu Bakoorluh dalam rangka penyuluhan petani dan nelayan untuk meningkatnya produktivitas usaha pertanian, kehutanan dan perikanan.

Kepala Bidang Ketenagaan dan Kelembagaan Barkoorluh P2K Sumut yang juga Ketua Panitia Acara Penandatanganan Kontrak Kerja, Parsaoran Hutahean, dalam laporannya menyebutkan ke-141 pendamping penyuluh, merupakan tenaga harian lepas (THL) outsourcing angkatan I dan II dengan gaji per bulan di atas UMR Sumut.

Acara penandatangan disaksikan Kepala Barkoorluh P2K Sumut Bonar Sirait di Hotel Griya Medan, Senin malam (8/4) dan dirangkai dengan kursus singkat/pelatihan selama dua hari kepada seluruh THL pendamping penyuluh pertanian, perikanan dan kehutanan tersebut.

Kepala Bakoorluh P2K Sumut Bonar Sirait mengatakan, hingga saat ini Bakoorluh P2K Sumut masih minim petugas penyuluh. Untuk itu, pihaknya selama 2013, akan meningkatkan pelatihan dan keterampilan bagi penyuluh yang ada, seperti kursus dan lainnya.

"Ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kontribusi sektor pertanian Sumut terhadap pembangunan nasional. Bahkan Kementerian Pertanian menetapkan empat sukses pembangunan pertanian, yaitu pencapaian sawsembada dan swasembada berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor dan keempat peningkatan kesejahteraan petani," katanya.

Untuk mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian tersebut, lanjutnya, diperlukan peningkatan konsistensi pelaku usaha pembangunan pertanian, khususnya petani. Untuk itu diperlukan penyuluh yang professional, kreatif , inovatif, dan berwawasan global.
Sejalan dengan itu, kementerian pertanian akan terus berupaya meningkatkan jumlah penyuluh melalui penerapan kebijakan satu desa satu penyuluh.

Dia menyampaikan, tahun 2013 Pemprovsu belum akan menambah tenaga penyuluh. "Kita masih memaksimalkan tenaga penyuluh yang ada saat ini. Diimbau para penyuluh agar betul-betul bekerja di lapangan. Saya akan mencek langsung nanti apakah tenaga penyuluh sudah bekerja dengan benar," katanya.

Bonar menambahkan, saat ini jumlah desa di Sumut mencapai 5.768 pada 388 kecamatan di 33 kabupaten/kota, di mana 195 kecamatan sangat potensial untuk pengembangan pertanian, sementara jumlah penyuluh 3.146 orang.

Dengan 3.146 orang tenaga penyuluh tersebut terdiri dari 1.312 pegawai negeri sipil (PNS), 1.784 orang tenaga harian lepas (THL-TBPP), dan 50 orang THL provinsi. "Artinya jumlah 3.146 penyuluh yang ada saat ini, belum cukup atau masih butuh 2.622 tenaga lagi jika untuk memenuhi satu penyuluh satu desa," ujarnya.          

Dia juga menyampaikan, selama ini Gubsu H Gatot Pujo Nugroho sangat peduli terhadap para tenaga penyuluh dalam meningkatkan target pertanian, perikanan dan kehutanan di Sumut. "Atas kepedulian Gubsu inilah maka kontrak penyuluh angkatan I dan II dilakukan saat ini,” jelas Bonar.
(benny pasaribu)

Enam Nelayan Sumut Dua Bulan Ditahan Malaysia

Medan, 3/4 (Antara) – Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumatera Utara berharap pemerintah membantu membebaskan enam orang nelayan Deliserdang yang sudah hampir dua bulan ditahan oleh kepolisian Malaysia.
Menurut Sekretaris HNSI Sumut, Ihya Ulumuddin di Medan, Rabu, para nelayan itu ditangkap kepolisian perairan Malaysia dengan tuduhan memasuki wilayah perairan negara tersebut.
“Padahal sudah ada nota kesepahaman Indonesia dan Malaysia tentang keharusan melepas dan memulangkan nelayan yang ditangkap aparat di daerah abu-abu atau belum disepakati kepemilikannya oleh kedua negara,” katanya.
HNSI Sumut, menurut Ulumuddin, sudah menemui Bupati Deliserdang Amri Tambunan untuk diminta bantuannya membebaskan enam nelayan tersebut.
“Tapi hingga sekarang belum ada kabar kepastian nasib nelayan itu. Kami terus berupaya dan berharap agar berbagai pihak membantu melepaskan nelayan itu,” katanya.
Anggota DPD RI utusan Sumut, Parlindungan Purba, mengaku sudah membicarakan dengan pejabat Kantor Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) di Jakarta terkait masalah nelayan yang sering ditangkap dengan tuduhan memasuki perairan Malaysia.
Sesuai pembicaraan, kata dia, setiap nelayan yang ditangkap, memang harus melewati pemeriksaaan dahulu.
Namun bila tidak terbukti tersangkut masalah narkoba, perampokan dan kejahatan lain, maka nelayan yang tertangkap wajib dilepaskan segera.
Parlindungan juga mengakui adanya nota kesepahaman (MoU) keharusan melepas dan memulangkan nelayan yang ditangkap aparat di daerah abu-abu atau belum disepakati kepemilikannya oleh kedua negara itu yang ditandatangani Bakorkamla dan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di Bali, pada 27 Januari 2012.
MoU itu didasarkan kondisi belum adanya perjanjian yang mengatur tentang batas wilayah laut antara Indonesia dan Malaysia.
Perjanjian itu diperkirakan masih lama untuk bisa diwujudkan akibat adanya perbedaan prinsip kedua negara terkait batas wilayah laut baik Indonesia maupun Malaysia.

Rabu, 13 Maret 2013

6 Kapal Pukat Tarik Dua Kembali Diamankan


BELAWAN – Pengusaha kapal perikanan di Sumatera Utara, hingga kini masih mengoperasikan alat tangkap (pukat) ditarik dua kapal. Ini terbukti dengan kembali diamankannya 6 unit kapal bermasalah tersebut oleh petugas Polair dan DKP.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI telah mengeluarkan Permen No : 02/MEN/2011 tentang larangan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
Kepala PSDKP (Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan), Mukhtar APi mengakui, alat tangkap (pukat) ditarik menggunakan dua kapal hingga saat ini memang masih beroperasi di perairan Sumatera Utara. Bahkan sebelumnya, pengawas perikanan telah menangkap 4 unit kapal bermasalah ini disekitar perairan Tanjung Balai, Asahan.
“Selama peraturan menteri itu masih berlaku, maka kita tetap akan melakukan penertiban. Dan sebelumnya empat kapal dengan alat tangkap tarik dua kita amankan dari kawasan perairan Asahan,” kata, Mukhtar APi, pada sumut pos usai menerima kunjungan Komisi B DPRD Medan di aula kantor PPSB, Senin (11/3) kemarin.
Dia menambahkan, sejalan dengan peraturan dimaksud, semua SKPD di Sumatera Utara telah sepakat untuk tidak mengeluarkan izin terhadap alat penangkapan ikan apapun yang pengoperasiannya ditarik atau pukat hela, karena dinilai merusak biota laut dan tidak ramah lingkungan.
Keberadaan kapal pukat tarik dua katanya, selama beberapa tahun terakhir sering dikeluhkan oleh kalangan nelayan tradisional, karena aktivitasnya dianggap sebagai penyebab berkurangnya populasi ikan di zona tangkapan nelayan tradisional. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik antar nelayan, diharapkan para pemilik kapal segera menghentikan aktivitas tersebut.
Terpisah, penangkapan kapal pukat tarik dua juga dilakukan petugas Direktorat Kepolisian Perairan Polda Sumut dikawasan Perairan Langkat. Kedua kapal berikut alat tangkap dan awak kapalnya hingga kemarin masih menjalani serangkaian pemeriksaan penyidik di Mako Dirpolairdasu di Belawan.
Direktur Polair Polda Sumut, Kombes Pol Ario Gatut ketika dikonfirmasi membenarkan adanya penangkapan kapal ikan bermasalah tersebut.”Ada kita amankan, saat ini masih dalam proses pemeriksaan dipenyidik,” sebut, Ario.
DKP Pusat Tangkap Dua Kapal Malaysia Penjarah Ikan Sementara itu, dua kapal ikan berbendera Malaysia, Senin (11/3) kemarin, ditangkap petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI Jakarta.
Kedua kapal dimaksud diamankan atas sangkaan melakukan penjarahan ikan disekitar perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sebelah barat Sumatera. Guna menjalani proses hukum, dua kapal dengan nomor lambung PKFB 1597 dan KHF 1957 rencananya akan diserahkan ke penyidik PSDKP Stasiun Belawan.
Informasi diperoleh Sumut Pos, penangkapan dua unit kapal asing pencuri ikan di laut Indonesia itu ditangkap, ketika petugas kapal patroli DKP tengah melakukan pengawasan disekitar perairan dimaksud.

Rabu, 06 Maret 2013

Nelayan Sumut Jual Ikan di Tengah Laut

Transaksi jual beli ikan di tengah laut dan ekspor ikan ilegal, ditengarai ikut memengaruhi anjloknya volume ekspor ikan asal Sumatera Utara.
Meski sudah diawasi ketat, tak jarang aksi ilegal ini luput dari pantauan pihak berwenang. Kabid Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut Matius Bangun mengungkapkan, nelayan sering tidak melempar hasil tangkapannya ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Nelayan juga kerap memindahkan hasil lautnya, termasuk melakukan transaksi di tengah laut untuk menghindari pantauan petugas.
Rata-rata produksi nelayan di laut mencapai 400 ribu ton per tahun. Sekitar 60 ribu di antaranya diekspor ke beberapa negara, seperti Jepang dan Amerika Serikat.
Tapi, Matius mengakui, produksi ikan sebenarnya jauh lebih banyak lagi yang tidak terdata, yang juga berpotensi merugikan pemasukan ke kas pendapatan daerah, yang mencapai miliaran Rupiah.
"Banyak yang tidak datang ke TPI tapi langsung dijual di tengah laut, dan tidak terdata aktivitasnya. Ini jelas merugikan bagi Sumut dan juga negara," katanya, Kamis (7/2/2013).
Modus transaksi jual-beli ikan di tengah laut, biasanya dilakukan dengan kapal-kapal pengumpul ikan dari luar daerah. Setelah terkumpul, kemudian dibawa ke negara tetangga seperti Malaysia dan sekitarnya.
Matius mengakui, pihaknya sudah cukup maksimal melakukan pengawasan. Termasuk menarik semua kapal ikan gandeng pukat dan sejenisnya, dipastikan tidak boleh beroperasi lagi.
"Namun, kewenangan perairan kan wilayah Polairud (Polisi Air dan Udara). Secara infrastruktur, kami terbatas untuk bidang pengawasan. Kapal patroli milik kami kan juga terbatas," tuturnya.
Dari data Belawan International  Container Terminal (BICT), rata-rata ekspor ikan dari Sumut hanya berkisar 2.000 ton per bulan. Total dari Januari hingga Desember 2012 mencapai 33.953 ton. Jauh dari rata-rata produksi ikan yang seharusnya diekspor per tahun.
"Di semester awal saja yang sempat cukup naik mencapai 3.000-an ton per bulan. Setelahnya sudah mulai menurun lagi. Bahkan sempat berada di bawah 2.000 ton per bulan," papar Humas BICT Suratman.

Senin, 25 Februari 2013

KKP Bantu Program PKN Kabupaten Batu Bara

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus memberikan perhatian terhadap sektor kelautan dan perikanan secara nasional. Sektor ini juga dipandang sebagai tumpuan masa depan yang mampu mendongkrak taraf hidup masyarakat.
Dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Batu Bara provinsi Sumatera Utara, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, mengatakan melalui Peraturan Presiden nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan Instruksi Presiden nomor 15 Tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan telah didorong program Peningkatan Kehidupan Nelayan (PKN).
Menurutnya program ini secara efektif telah dilaksanakan sejak tahun 2011, dengan pencanangan kawasan PKN berbasis industrialisasi perikanan terpadu.
Dijelaskan, terdapat delapan kegiatan utama didalam program PKN, yakni pembangunan rumah sangat murah bagi nelayan, tersedianya pekerjaan alternatif dan tambahan bagi keluarga nelayan, bantuan langsung masyarakat berupa skema UMK dan KUR.
Program lain yakni, pembangunan SPBU solar, pembangunan cold storage serta angkutan umum murah. Termasuk pembangunan fasilitas sekolah dan puskesmas serta fasilitas Bank Rakyat. Program PKN akan berlangsung bertahap hingga tahun 2014 dengan menyasar rumah tangga miskin nelayan di 816 pelabuhan
perikanan.
"Untuk Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara, program ini dilaksanakan di PPI Desa Lalang, PPI Tanjung Tiram, PPI Perupuk dan PPI Pangkalan Dodek," jelas Sharif dalam siaran pers yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (23/2/2013).
Sharif menjelaskan, untuk mendukung program PKN di Batu Bara, KKP sendiri telah mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan. Khususnya yang sudah terealisasi antara lain, penyalurann BLM PUMP Perikanan Tangkap sebanyak 26 KUB dengan nilai Rp 2,6 Milyar, pembangunan Kapal >30 GT sebanyak 1 unit dengan nilai Rp 1,5 Milyar serta sarana pemasaran sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 50 juta.
Bantuan lain berupa sarana sistem rantai dingin sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 50 juta. Bantuan juga berasal dari dana DAK Kabupaten Batu Bara, berupa pengadaan Kapal Motor 5 GT, pengadaan alat penangkapan ikan, pengadaan peralatan pengolahan sederhana, pembangunan pondok jaga, pembangunan tempat tambat labuh serta mesin kapal pengawas.
“Kami berharap seluruh bantuan dan fasilitas tentunya dapat bermanfaat dan memberikan hasil yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kab. Batu Bara," jelasnya.
Alokasi anggaran tahun 2013 ini, sambung Sharif, KKP akan mengalokasikan anggaran pusat sebesar Rp 2 miliar untuk program BLM PUMP Perikanan Tangkap sebanyak 20 KUB dan BLM PUMP Perikanan Budidaya sebanyak delapan KUB dengan nilai Rp 520 juta.
Disamping itu, bantuan sarana pemasaran sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 50 juta, pengadaan mesin pembuat es sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 1,27 miliar serta pembuatan bangsal pengolahan sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 450 juta.
KKP juga membantu penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan sebanyak 1 paket dengan nilai Rp 359 juta.
“Sedangkan Anggaran DAK Kabupaten berupa penyediaan sarana percontohan budidaya rumput laut metode long line, kolam percontohan budidaya air tawar, pengadaan peralatan pengolahan sederhana, pembangunan garasi speed
boat pengawas dengan nilai Rp 1,36 miliar," tambahnya.
Sementara itu, Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Gelwynn Jusuf, mengatakan KKP akan terus mendorong pengembangan industrialisasi kelautan dan perikanan berbasis komoditas unggulan yang ada di daerah yang semata-mata bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, daya saing dan produktivitas usaha.
Program akan optimal melalui pengembangan dan modernisasi sistem produksi dan pemasaran yang terintegrasi dari hulu sampai dengan hilir.
Dengan pendekatan industrialisasi diharapkan akan tercipta mata rantai usaha/industri perikanan dan kelautan nasional yang kuat dan kompetitif di tingkat
global.
"Tentunya semua program tersebut memberi dukungan terhadap perluasan penyerapan tenaga kerja (pro job), kontribusi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional (pro growth), serta turut andil dalam penanggulangan kemiskinan (pro poor)," paparnya.
Dikatakannya, sejalan dengan proses industrialisasi perikanan dan kelautan, mulai tahun ini akan dilaksanakan konsep baru dalam tatanan pembangunan kelautan dan perikanan yakni konsep blue economy.
Konsep ini secara garis besar akan menjadi koridor agar pembangunan yang dilakukan tetap menjadi prinsip-prinsip kelestarian dan keberlanjutan sumber daya (pro environment). Adapun prinsip konsep pembangunan blue economy antara lain efisien dalam menggunakan sumber daya alam, nir-limbah (zero waste), serta menciptakan inklusivitas sosial.

Kamis, 21 Februari 2013

Hentikan Kriminalisasi Nelayan Tradisional.

Penangkapan terhadap 23 nelayan tradisional di Kabupaten Langkat oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat salah sasaran.
Awalnya 23, menurut Sekjen Koalisi Rakyat untuk Kemakmuran Perikanan (KIARA) Abdul Halim, nelayan tradisional tersebut bersama 1.000 orang nelayan tradisional asal Perlis, Serapuh, Jaring Halus, Kuala Gebang serta seluruh pesisir Kabupaten Langkat, Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara berinisiatif mengusir kapal penangkap ikan yang menggunakan alat tangkap pukat harimau tarik ganda (double pair trawl).
Penggunaan alat tangkap pukat trawl telah dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Republik Indonesia dan secara khusus di wilayah perairan Sumatera Utara (WPP NRI 571).
Berdasarkan Pasal 9, Pasal 85 Undang - Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang - Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa "Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa atau menggunakan alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia."
Jauh sebelum itu, lanjut Abdul Halim di Jakarta (Kamis (24/1), Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl juga masih berlaku.
Bahkan konflik trawl di Sumatera Utara yang melatari dikeluarkannya Keppres tersebut.
Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI wilayah Sumatera mengatakan, "Bentrok antara nelayan tradisional dengan buruh pukat harimau tarik ganda (double pair trawl) telah menghancurkan 2 (dua) unit perahu nelayan tradisional yang berinisiatif mengusir pemakai alat tangkap yang jelas - jelas dilarang."
"Pertanyaan kami, kenapa nelayan yang melestarikan ekosistem pesisir dan laut tersebut justru ditahan? Mestinya pemilik dan pengguna yang ditindak-tegas, diikuti dengan pemusnahan alat tangkap trawl," tanyanya. Abdul Halim kembali menyatakan bahwa, "Alat tangkap jaring trawl dilarang penggunaannya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Dalam konteks pengamanan laut dari praktik kerusakan, maka kriminalisasi terhadap nelayan tradisional harus dihentikan. Karena merekalah yang seharusnya memperoleh penghargaan. Bukan sebaliknya."

Dilema Penyuluh Perikanan Di Masa Otonomi Daerah


Diakui atau tidak, di masa otonomi daerah sekarang ini, pengelolaan Penyuluh Perikanan (dahulu Penyuluh Pertanian Bidang Perikanan) berstatus PNS di tangan pemerintah daerah masih dilingkupi beragam persoalan.
Mulai minimnya akuntabilitas pada penempatan CPNS pasca rekrutmen, rendahnya kompetensi dan profesionalisme, hingga masalah dianak tirikan. Disisi lain, jaminan kebebasan berserikat atau afiliasi organisasi di tingkat lokal menjadi persoalan tersendiri.
Persoalan akuntabilitas, antara lain tercermin dari masih adanya permasalahan dalam penempatan CPNS sesuai dengan formasi yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI pasca rekrutmen di berbagai daerah.
Alhasil, CPNS formasi Penyuluh Perikanan hasil rekrutment tidak seluruhnya menjadi Calon Penyuluh Perikanan. Hal ini terjadi karena dua hal, yang pertama pihak yang bersangkutan lebih memilih kerja kantoran, sehingga mereka memilih untuk dinas di SKPD kabupaten, sehingga yang bersangkutan pun melakukan upaya-upaya untuk mencapai keinginannya tersebut.
Yang kedua, di sisi lain pihak pemerintah daerah meng-amin-i upaya-upaya ini. Selain itu, beberapa pemda masih menganggap eksisitensi penyuluh perikanan masih kurang diperlukan di mata sebagian kepala daerah. Formasi yang diusulkan oleh pemda ke pemerintah pusat yang seyogyanya merupakan gambaran kebutuhan di daerah, tetapi hanya menjadi “komoditas” saja.
“Kita siapkan 8 ribu penyuluh dengan komposisi 3.188 penyuluh PNS, 1.500 penyuluh PPTK, dan 3.312 penyuluh swadaya. Dengan jumlah tersebut, di masing-masing kabupaten akan ada 20-25 penyuluh,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo sesuai apel siaga penyuluh perikanan tenaga kontrak di Jakarta, kemarin (07/02/2012).
Jika Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan Penyuluh Perikanan berjumlah sekitar 3.188 penyuluh PNS, 1.500 penyuluh PPTK, dan 3.312 penyuluh swadaya, masalah penempatan CPNS pasca rekrutment di daerah ini akan menjadi tantangan besar untuk mencapai cita-cita Bapak Menteri tersebut.
Terkait dengan rendahnya kompetensi dan profesionalisme penyuluh perikanan, hal ini diakibatkan masih kurangnya mendapat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Hingga saat ini, pendidikan dan pelatihan yang masih digulirkan bagi penyuluh perikanan hanya sebatas diklat dasar jabfung tingkat terampil, diklat dasar jabfung tingkat ahil, dan diklat alih jenjang/ kelompok.
Sedangkan untuk diklat teknis dan diklat manajemen hingga sekarang belum pernah diadakan bagi penyuluh perikanan. Di sisi lain, bagi penyuluh yang mempunyai inisiatif melakukan upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme terkendala oleh jarak yang relatif jauh dengan UPT Kementerian yang tersebar di seluruh Indonesia, hal ini menyebabkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar.
Terkait dengan masih terjadi anak tiri, hal ini memang nyata terjadi di beberapa daerah. Penyuluh Perikanan PNS masih dianggap Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) atau masih dianggap sama dengan Penyuluh Pertanian PNS. Hal ini, menyebabkan masih terjadi Penyuluh Perikanan mendapat wilayah kerja/ binaan penyuluhan hanya satu desa.
Hal ini berdasarkan program Kementerian Pertanian memang untuk Penyuluh Pertanian, Satu Desa Satu Penyuluh. Bagaimana seorang penyuluh perikanan bekerja dengan cakupan wilayah satu desa dengan potensi perikanan yang relatif sangat terbatas.
Semua permasalahan yang terjadi, mulai minimnya akuntabilitas pada penempatan CPNS pasca rekrutmen, rendahnya kompetensi dan profesionalisme, hingga masalah dianak tirikan harus mendapat perhatian dan dicarikan win win solution dari pemerintah pusat, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, agar cita-cita menjadikan Indonesia Penghasil Perikanan Terbesar Tahun 2015 dapat tercapai.

Selasa, 19 Februari 2013

75 Persen Investasi Perikanan Swiss Berada di Sumut

Nilai investasi Swiss pada bidang perikanan di Indonesia sebesar Rp USD 30 juta. Investasi perikanan oleh PT Aquafarm Nusantara tersebut terdapat di dua provinsi, yakni Jawa Tengah dan Sumatera Utara.

"Nilai investasi Swiss di perikanan senilai USD 30 juta, di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Namun, dari jumlah itu yang terbesar terdapat di Sumut sebanyak 75 persen, sedangkan di Jawa Tengah hanya 25 persen," ujar Presiden Direktur PT Aquafarm Nusantara, Freek Huskens kepada sejumlah wartawan di Medan, kemarin (21/1/2013).

Ia mengatakan hasil yang di panen perusahaan budidaya ikan Tilapia (Nila) tersebut pertahun sebanyak 25 ribu ton. Hasilnya diekspor ke negara Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa.

"Mengapa juga kita harus ekspor?, karena kami tidak mau bersaing dengan pasar lokal. Kami tidak ingin meganggu usaha warga lainnya di Indonesia," ujar Freek yang terdengar  fasih berbicara dalam bahasa Indonesia.

Sebelumnya, Duta Besar Swiss di Indonesia, HE Heinz Walker-Naderkoorn menyebut kedepan Swiss memikirkan bagaimana menciptakan nilai tambah terhadap hasil perikanan yang diinvestasikan di Indonesia. Diharapkannya nilai tambah tersebut bisa menguntungkan dan dinikmati rakyat Indonesia, khususnya lokasi-lokasi tempat budidaya ikan PT Aquafarm Nusantara.

"Misalnya saja, bagaimana kita bisa tidak mengekspor ikan dalam kondisi mentah. Atau sudah diproses di Indonesia. Ini kan sebuah nilai tambah," ujar Walker dalam media brifing dengan wartawan di Medan.

Senin, 18 Februari 2013

BBPPI Semarang Selidiki Pukat Teri di Belawan


BELAWAN | GLOOBAL BERITA - Guna menyelidiki serta mengetahui secara dekat soal operasional kapal pukat teri yang sebelumnya sempat dituduh sebagai pukat gerandong yang tak ramah lingkungan, akhirnya petugas tim dari Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI) Semarang yakni Suherianto dan Fakruddin akhirnya turun ke kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Belawan (PPSB) Gabion selama beberapa hari didampingi HNSI Medan serta penggurus Assosiasi Nelayan dan Pengusaha Pukat Teri (ANPATI).

Selain turut langsung ikut ke laut melihat operasional kapal pukat teri secara dekat, Tim dari BBPPI Semarang juga sempat berbincang dengan masyarakat nelayan dan rekan Pers di sekretariat kantor HNSI Kota Medan Jalan Pelabuhan No 6 Belawan.Pada intinya tim yang telah terjun langsung tersebut akan mengkaji alat tangkap pukat teri yang terancam dilarang akibat Permen 02 tahun 2011 tersebut.

Ketua DPC HNSI Kota Medan Zulfachri Siagian, Sabtu (16/02/2013) menyatakan, menyambut baik kehadiran tim petugas dari BPPI Semarang tersebut guna melihat langsung cara kerja operasional kapal pukat teri gandeng dua yang ternyata memang ramah lingkungan dan hasil tangkapannya seletif sebab yang ditangkap hanya ikan teri saja.

Hal senada juga disampaikan Sekjennya Alfian MY ANPATI mengatakan, operasional kapal pukat teri tarik dua jauh beda dengan kapal pukat gerandong yang prakteknya menggunakan pukat yang sampai ke dasar laut hingga rusaknya ekosistem laut.

Sedangkan kapal pukat teri tarik dua merupakan alat tangkap yang selektif khusus menangkap ikan teri saja, karena pukatnya tak sampai ke dasar laut melainkan hanya di tengah dan permukaan dengan menentang arus memakai kantong serta pemberat penyeimbang sesuai kebutuhan agar posisi pukat tak mengapung, sedangkan 2 unit kapal difungsikan sebagai penahan pukat agar pukat tetap mengembang dan tak hanyut terbawa arus  dengan kecepatan kapal rata-rata 0,9 knot, alat ini hanya dapat digunakan sesuai dengan musim, bila musim air pasang besar maka alat tangkap ini tak bisa digunakanoleh nelayan pukat teri. 

Hasil tangkapan pukat teri adalah jenis ikan teri kecil (teri nasi, teri Medan) atau dikenal  teri Pikbud, serta dikategorikan jenis ikan pelagis yang hidup diatas air permukaan, sifatnya menetap mengikuti arus air laut dan sangat rapuh, artinya ikan teri ini akan hancur apabila kecepatan kapal ikan terlalu cepat. Apabila tangkapan bercampurdengan ikan-ikan jenis lainnya dan besar-besar, ikan teri kami akan hancur sehingga kami khusus menangkap ikan teri.

Ikan teri hasil tangkapan kapal Pikbud ini merupakan icon kota Medan sebagai oleh-oleh kebangaan wisatawan lokal dan mancanegara, pendamping Kue Binka Ambon, Syirup marquisa pohon pinang dan lainnya sebagai buah tangan dari kota Medan.

Bahkan kata Alfian, persoalan kapal pukat teri tarik dua ini telah diadakan pertemuan dengan pihak PPSB Gabion, disana seluruh pengusaha dan pemilik kapal pukat teri tarik dua dikumpulkan di aula kantor PPSB Gabion hingga disepakati bahwasannya kapal pukat teri tarik dua bukanlah kapal pukat gerandong, melainkan kapal pukat teri yang ramah lingkungan serta seletif sebab hanya ikan teri saja yang ditangkap.Terang Alfian yang juga selaku Wakil Ketua DPC HNSI Kota Medan.

sumber: http://www.gloobalberita.com/2013/02/bbppi-semarang-selidiki-pukat-teri-di.html